Topik pemberitaan media massa cetak, siar dan elektronik selama beberapa minggu terakhir tidak jauh dari usulan dan desakan perombakan (reshuffle) beberapa Menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II. Usulan tersebut didasarkan pada rendahnya kinerja (performance) dan juga dugaan keterlibatan dalam beberapa kasus korupsi maupun kasus hukum lain seperti perceraian dan perselingkuhan.
Usulan dan desakan tersebut rupanya memperoleh respon beragam, baik yang optimis dan pesimis. Kalangan optimis tercermin dari statement beberapa pimpinan partai politik (parpol) peserta koalisi pemerintahan maupun dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang hampir mengamini akan diadakannya reshuffle kabinet tersebut bertepatan dengan peringatan tahun ketiga KIB Jilid II. “Tunggu tanggal main”, demikian statement Presiden SBY. Sementara sebagian khalayak pesimis karena beranggapan bahwa usulan reshuffle tidak lebih dari strategi pengalihan isue agar persoalan mendasar berupa pemberantasan KKN menjadi terabaikan atau dikesampingkan. Terkait usulan dan desakan reshuffle tersebut, muncul pertanyaan apakah Presiden SBY sungguh-sungguh akan melakukan reshuffle ? Jika ada reshuffle, bagaimana nasib Kontrak Koalisi yang pernah ditanda tangani secara bersama oleh Pimpinan Parpol pendukung pemerintahan SBY – Budiono ?

Hak Prerogatif Presiden
Secara konstitusional kewenangan pengangkatan dan pemberhentian para menteri ada ditangan Presiden. Masa jabatan menteri paling lama sama dengan masa jabatan Presiden. Ini berarti bahwa masa jabatan menteri dapat lebih singkat dari masa jabatan Presiden, tergantung kinerja dan kepercayaan dari Presiden. Sehingga dapat dikatakan bahwa kedudukan menteri sangat tergantung pada presiden tanpa pengaruh dan campur tangan dari lembaga lain. Konstruksi konstitusional ini mencerminkan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil, dimana pengangkatan dan pemberhentian menteri tidak tergantung pada desakan atau usulan parlemen atau lembaga perwakilan rakyat, namun bergantung pada penilaian Presiden.
Memperhatikan perkembangan pemberitaan, semakin menguat bahwa reshuffle akan terjadi. Pernyataan dari beberapa pimpinan teras parpol pendukung koalisi meyakinkan hal tersebut. Ketua Umum Partai Demokrat mengakui akan adanya rehuffle, demikian pula Ketua Umum DPP PPP mengakui adanya pembicaraan serius dengan Presiden SBY saat acara kenegaraan di Jambi. Terakhir Ketua Umum DPP PKB juga mangamini hal tersebut, mesti belum memastikan kapan dilakukannya reshuffle tersebut.
Nasib Kontrak Koalisi
Jika reshuffle akan terjadi, bagaimana nasib Kontrak Koalisi yang pernah ditandatangani bersama oleh pimpinan partai politik pendukung SBY – Budiono ? Hal ini menjadi persoalan karena ada salah satu butir kontrak koalisi yang berkenaan dengan reshuffle menteri, yang berbunyi “ Presiden dapat memberhentikan menteri yang tidak memenuhi kontrak kerja dan pakta integritas. Presiden memberi tahu pimpinan parpol untuk dicarikan penggantinya”. Problematika tampak pada rumusan kalimat yang terakhir yaitu … Presiden memberi tahu pimpinan parpol untuk dicarikan penggantinya.
Apakah SBY akan memperhatikan atau mengenyampingkan kontrak koalisi. Secara konstitusional, menjadi kewenangan Presiden untuk melakukan reshuffle tanpa pengaruh dan intervensi pihak manapun. Namun, memperhatikan isi kontrak koalisi tersebut, tidak terelakan pengaruh partai politik pendukung koalisi SBY – Budiono. Kenyataan lain yang mendukung hal tersebut yaitu : Pertama, komposisi kursi menteri dalam KIB jilid II, dimana semua pimpinan parpol pendukung koalisi mendapat jatah jabatan menteri. Kedua, saat atau waktu definitif akan dilakukan reshuffle sengaja dibuat sumir dengan mengatakan bertepatan peringatan memasuki tahun ketiga pemerintahan KIB Jilid II. Ini dilakukan agar Presiden SBY memiliki cukup waktu untuk berkomunikasi dengan beberapa pimpinan partai politik pendukung koalisi. Ketiga, pertemuan informal antara Presiden SBY dengan beberapa pimpinan parpol, yaitu Ketua Umum PPP, Ketua Umum Partai Demokrat, Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua Umum PKB dalam beberapa waktu belakangan ini yang agendanya tidak jauh dari reshuffle kabinet.
Beberapa kenyataan tersebut semakin menguatkan bahwa Kontrak Koalisi akan menjadi dasar Presiden SBY dalam melakukan reshuffle kabinet. Bahkan jatah menteri dari parpol pendukung koalisi akan tetap ada meski mungkin hanya mengganti nama atau personal. Kenyataan ini menggambarkan bahwa hak prerogatif Presiden hanyalah lips service semata, karena secara substansil telah dikesampingkan oleh peran parpol pendukung koalisi pemerintahan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kedudukan norma dalam konstitusi sejajar atau bahkan lebih rendah dari kontrak koalisi yang ada. Sehingga yang terjadi adalah supremacy of contract ketimbang supremacy of constitution.
Bagaimana jika Presiden SBY tidak memperhatikan Kontrak Koalisi tersebut? Secara konstitusional, tidak ada implikasi apapun karena memang menjadi prerogatif Presiden. Hal ini yang justru sangat dinantikan oleh publik. Namun dalam kenyataan, dengan fakta kepemimpinan SBY – BUD yang tidak didukung oleh mayoritas anggota DPR, maka koalisi adalah jalan yang tidak terhindarkan. Konsekuensi lebih lanjut yaitu Presiden SBY memberikan kompensasi kepada parpol pendukung koalisi berupa kursi kementerian atau pejabat negara lainnya. Ini dilakukan agar pemerintahan SBY selama tiga tahun ke depan tidak selalu dibayang-bayangi dengan “berbagai manuver” dari anggota DPR.
Tentu kita berharap agar Presiden SBY lebih takut pada rakyat (karena dipilih dan mendapat legitimasi yang tinggi saat pilpres) ketimbang takut pada anggota DPR yang belum sepenuhnya merepresentasi kehendak rakyat. Apakah mungkin? Kita tunggu jawaban saat reshuffle terjadi.

*Dosen Hukum Tata Negara FH UKSW Salatiga, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP Semarang
Telah dimuat di Harian Wawasan.