Rapat konsultasi Pimpinan DPR dengan lembaga penegak hukum (KPK, Kejaksaan Agung dan Polri), Senin 3 Oktober 2011, yang semula ingin menyamakan persepsi tentang penanganan kasus korupsi dan mafia anggaran, rupanya berakhir antiklimaks dan tanpa kesimpulan (SM, 4 Oktober 2011). Pemicunya yaitu statement Wakil Ketua Komisi III DPR Fachri Hamzah (FH) yang mewacanakan pembubaran KPK karena dalam negara dengan sistem demokrasi tidak boleh ada lembaga yang sangat kuat dan “super body” seperti KPK.
Statement FH merupakan reaksi keras atas upaya KPK yang memanggil beberapa anggota Badan Anggaran DPR untuk dimintai keterangan terkait kasus dugaan korupsi di Kemenakertrans. Apa yang dikatakan FH sebagai anggota fraksi PKS rupanya mendapat dukungan dari sesama anggota fraksi (meski dengan bahasa berbeda), yaitu Anis Mata – Wakil Ketua DPR– yang mewacanakan agar KPK dievaluasi secara keseluruhan.
Tidak lama berselang, statement FH banyak mendapat respon negatif dari berbagai kalangan. Sebut saja Busyro Mugoddas selaku nakhoda KPK mempersilahkan jika DPR ingin membubarkan KPK, namun baginya KPK tidak bisa ditekan atau diintervensi oleh pihak lain dengan cara apapun. Lebih jauh dikatakan bahwa ada indikasi pernyataan Fachri sudah disetujui oleh fraksi PKS. Kemudian, Sebastian Salang selaku Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia menganggap statement FH sebagai ekspresi kepanikan yang berlebihan karena saat ini banyak anggota DPR yang terlibat mafia anggaran. Sementara dari internal DPR, Ketua Fraksi Partai Demokrat Jafar Hafsah menilai keberadaaan KPK mutlak diperlukan, karena KPK dilahirkan dengan UU yang melihat bahwa korupsi di Indonesia sangat kompleks. Senada dengan itu, Sekjen PKB Imam Nachrowi menilai usulan pembubaran KPK tidak tepat, karena keberadaan KPK masih sangat dibutuhkan di republik ini di tengah-tengah ketidakpercayaaan publik terhadap penegakan hukum yang ada. Padahal pilar demokrasi yang paling utama adalah penegakan hukum secara konsisten.
Pertanyaan yang muncul adalah benarkan KPK sebagai lembaga “super body” atau justru sebaliknya DPR? Berikut diuraikan perbedaan serta keistimewaan dari kedua lembaga dimaksud untuk menunjukan siapakah sebenarnya yang merupakan lembaga “super body”.
Pertama; berdasarkan kualitas fungsi dari lembaga negara (state organ), Jimly Asshiddiqie mengklasifikasikan menjadi lembaga negara utama/pokok (primary state organs) dan lembaga negara pendukung (auxiliary state organs). DPR, termasuk DPD, MPR, Presiden, MA, MK dan BPK dikalsifikasikan sebagai lembaga negara utama, sementara Komisi Yudisial, KPU, Bank Sentral, Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK merupakan lembaga pendukung. Ini berarti kualitas fungsi DPR lebih besar/kuat ketimbang KPK.
Kedua, berkenaan dengan instrumen pembentukan/pengaturan, DPR sebagai primary organ diakui dan dibentuk berdasarkan konstitusi sebagai hukum tertinggi, sementara KPK dibentuk dan diakui berdasarkan UU, yang mana adalah bentukan atau hasil kerja DPR. Ibarat DPR adalah “ibu kandung” sementara KPK adalah “anak kandung”. KPK sewaktu-waktu dapat dibubarkan, karena sangat tergantung pada kemauan politik DPR dan Presiden yaitu manakala lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi dianggap telah berfungsi secara efektif dan efisien. Dengan kata lain, KPK bersifat sementara (ad hock), sementara DPR relatif bersifat tetap atau permanen, tergantung ada tidaknya perubahan konstitusi.
Ketiga, berkenaan dengan pengisian jabatan, Pimpinan KPK dipilih oleh DPR atas usulan calon dari Presiden, sementara anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilu atas usulan partai politik. Ini menunjukan bahwa anggota DPR memiliki legitimasi yang langsung dari rakyat (pemilih), sementara Pimpinan KPK mendapat legitimasi tidak langsung dari rakyat melalui DPR.
Keempat, dalam hal anggaran, alokasi anggaran untuk penyelenggaraan tugas KPK ditentukan melalui APBN, yang mana APBN dibentuk berdasarkan UU yang merupakan bentukan DPR bersama Presiden, sehingga KPK tidak terlibat secara langsung. Sementara anggaran DPR, meskipun juag berasal dari APBN, namun ditentukan sendiri olehnya melalui persidangan pembahasan dan persetujuan APBN.
Kelima, berkenaan dengan pengawasan dan pertanggungjawaban kinerja, KPK dapat diawasi oleh DPR dan mesti memberikan laporan tahunan tentang kinerja kepada DPR, sementara anggota DPR tidak dipersyaratkan memberikan laporan kinerja. Laporan DPR diarahkan kepada rakyat meski tidak ada kejelasan kapan dilakukan, sehingga biasanya dianggap terjadi saat pelaksanaan pemilu berikutnya.
Keenam, Dalam hal-hal tertentu ketika menjalankan fungsi pengawasan, DPR bisa melakukan fungsi “penyelidikan dan penyidikan” seperti yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum, tampak ketika Pansus hak angket century memanggil dan menyidik beberapa pihak terkait.
Ketujuh, DPR mempunyai tugas melakukan uji kelayakan dan kepantasan (fit and proper test) terhadap calon – calon pejabat pada beberapa lembaga atau komisi negara seperti, KPU, Komisi Yudisial, Hakim Agung, BPK, Kapolri, Panglima TNI dan Gubernur Bank Indonesia. Sementara KPK tidak memiliki kewenangan itu. Justru calon Pimpinan KPK mesti melalui fit and proper tes di DPR.
Beberapa perbedaan di atas justru menunjukan bahwa DPR merupakan lembaga yang mempunyai kedudukan dan peran yang besar sehingga lebih “super body” ketimbang KPK. Karena kedudukan dan peran yang besar tersebut, maka penyelenggaraan sistem pemerintahan Indonesia pasca amandemen UUD 1945 dianggap lebih menampakan titik berat kekuasaan ada di DPR (legislative heavy) ketimbang adanya checks and balance di antara lembaga negara.
Kedudukan dan peran KPK justru diberikan oleh DPR melalui pembentukan amanat UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mestinya DPR perlu berterima kasih kepada KPK karena sebagian besar isi/substansi UU tersebut telah dijalankan oleh KPK. Salah satu ranah pengawasan DPR yaitu mengawasi pelaksanaan UU setidaknya telah diupayakan oleh KPK. Dengan begitu agenda pemberantan korupsi bisa secara perlahan dapat berjalan dengan efektif dan efisien.

Umbu Rauta, SH,MH.
Dosen Hukum Tata Negara UKSW Salatiga
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP