PERDA BERMASALAH ; SEBAB & SOLUSI
Oleh : Umbu Rauta

Otonomi Daerah berkenaan dengan kewenangan daerah melakukan pengelolaan/pengurusan (bestuur) dan pengaturan (regeling). Terkait kewenangan pengaturan, out put-nya meliputi Perda, Peraturan Kepala Daerah, Peraturan Bersama Kepala Daerah, dan Keputusan Kepala Daerah.
Secara teoretik-normatif, pembentukan Perda mesti memenuhi beberapa persyaratan seperti : pemenuhan terhadap asas-asas pembentukan dan materi muatan, landasan dan tahapan pembentukan, kerangka peraturan dan bahasa hukum. Manakala kualifikasi tersebut dipenuhi, akan tercipta Perda berkualitas atau layak. Namun, realitas menggambarkan bahwa pasca pergeseran paradigma pemerintahan daerah yang berkarakter desentralistik – demokratis pada tahun 1999, justru dibarengi dengan munculnya Perda Bermasalah. Perda Bermasalah ditakrifkan sebagai produk hukum yang memiliki cacat formil dan substansi.
Ranah Perda Bermasalah
Masalah yang mengitari berbagai perda di Indonesia mencakup masalah prosedural atau aspek formil dan masalah substansi atau aspek materi. Masalah prosedural tampak dari ketidakpemenuhan terhadap prosedur atau tata cara pembentukan perda sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan (baik berkenaan dengan kerangka perundang-undangan, bahasa hukum, tahapan pembentukannya serta harmonisasi dan sinkronisasi). Ketidakpemenuhan ini terjadi karena lemahnya kapasitas dan kompetensi yang dimiliki oleh para legislator dalam bidang perancangan hukum (legal drafting). Lemahnya kapasitas dan kompetensi tersebut boleh jadi disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki serta kapasitas yang tidak sesuai dengan fungsi pembentukan perundang-undangan. Kedua, minimnya pengalaman yang dimiliki, terutama bagi anggota DPRD karena memiliki batas periode jabatan paling lama lima tahun. Ketiga, minimnya kegiatan pendalaman tugas berupa bimbingan teknis bagi anggota DPRD, terutama topik yang berkenaan dengan perancangan hukum (legal drafting). Keempat, minimnya akses informasi (baik media cetak dan media elektronik) yang dapat menambah informasi dan memperluas wawasan para anggota DPRD.
Sementara itu, masalah substansi atau materi perda berkenaan dengan : Pertama, masalah tidak adanya kewenangan dari daerah dalam pembentukan Perda tertentu; Kedua, masalah pelanggaran terhadap materi perundang-undangan yang lebih tinggi; Ketiga, masalah pembebanan yang cukup besar kepada masyarakat, terutama Perda pungutan (pajak, retribusi dan sumbangan); Keempat, masalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia (perempuan); dan Kelima, masalah pengaturan substansi yang bernuansa keagamaan sehingga berpotensi “memecah belah” semangat pluralisme.
Masalah kewenangan berkaitan dengan adanya tindakan melampaui wewenang yang dilakukan daerah (Pemerintah Daerah dan DPRD) ketika mengatur sesuatu urusan pemerintahan yang semestinya bukan merupakan ranah kewenangan daerah. Hal ini tampak dari adanya berbagai perda yang bernuansa keagamaan (Perda Syariat dan Perda Injili). Padahal urusan agama sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 maupun PP No. 38 Tahun 2007 merupakan urusan pemerintah pusat. Selain itu, ada pula perda yang mengatur tentang pungutan (pajak, retribusi, sumbangan) yang seharusnya bukan merupakan kewenangan daerah sebagaimana telah diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Masalah pelanggaran terhadap materi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi berkaitan dengan adanya materi atau substansi Perda yang isinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini tampak dalam Perda tentang pajak, retribusi daerah dan sumbangan pihak dari ketiga. Selanjutnya masalah pembebanan berkenaan dengan besarnya/tingginya tarif pajak dan retribusi sehingga memberi beban yang cukup besar kepada masyarakat dalam memberikan atau melakukan pembayaran. Kemudian masalah pelanggaran hak asasi manusia tampak ketika adanya berbagai kewajiban yang khusus dikenakan terhadap wanita, seperti kewajiban untuk tidak berada di luar rumah di atas jam 22.00. Manakala masih ada wanita yang berada di luar rumah (khususnya di jalan) melebihi waktu tersebut, dianggap sebagai wanita tuna susila.
Penyebab Perda Bermasalah
Akar masalah (penyebab) adanya Perda Bermasalah (baik masalah prosedural maupun masalah substansi) yaitu cara pandang Pemerintah Daerah dan DPRD terhadap hakekat otonomi daerah. Otonomi daerah lebih dipandang dan dipahami sebagai pergeseran kewenangan dari pusat ke daerah untuk membebani masyarakat dengan sejumlah kewajiban atau beban, bukan untuk memudahkan layanan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya, Perda lebih dijadikan instrumen untuk mewujudkan perolehan pendapatan ketimbang kesejahteraan atau kemanfaatan bagi masyarakat.
Penyebab lain dari Perda Bermasalah yaitu minimnya kemampuan para legislator dalam perancangan hukum (legal drafting), belum adanya keseriusan untuk menyusun program legislasi daerah, belum adanya kemauan untuk menyusun kajian akademik dari setiap perda yang diusulkan, belum efektifnya upaya harmonisasi dan sinkronisasi yang dilakukan pemerintah daerah dan DPRD, serta minimnya ketegasan dari pemerintah pusat untuk mengawasi pelaksanaan pembatalan dari setiap perda yang telah dibatalkan melalui upaya judicial review dan eksekutif review.
Upaya Mengatasi Perda Bermasalah
Kondisi riil tentang Perda Bermasalah merupakan cerminan atau pantulan adanya problem dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Problem dimaksud ada pada tingkatan nasional (Undang – Undang) maupun tingkatan daerah (Perda). Terhadap kondisi demikian, perlu upaya secara terencana, terpadu dan sistematis untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi adanya Perda Bermasalah tersebut. Berikut ini diutarakan beberapa usaha atau upaya dimaksud, baik yang bersifat pencegahan (preventif) maupun penanggulangan (represif).
Upaya preventif berkenaan dengan hal-hal berikut. Pertama, keharusan untuk merubah cara pandang (paradigma) Pemerintah Daerah dan DPRD terhadap hakekat otonomi daerah. Otonomi daerah tidak sekedar meningkatkan PAD sehingga secara keuangan daerah dimaksud dipandang mampu, namun harus ada pemahaman secara komprehensif bahwa otonomi daerah bertujuan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga pada gilirannya terwujud kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya, segala instrumen pendukung otonomi daerah, baik urusan pemerintahan, organisasi, dan pembentukan aturan semestinya diorientasikan pada tujuan otonomi daerah. Singkatnya, perda yang dibentuk tidak selalu mengenakan kewajiban berupa pungutan bagi masyarakat.
Kedua, perlu pula pergeseran cara pandang pemerintahan daerah terhadap tujuan hukum. Artinya, Perda yang dibentuk tidak selalu didominasi oleh tujuan kepastian dan ketertiban, tetapi juga mampu mewujudkan aspek kesejahteraan bagi pihak yang dikenai perda (addresat). Hukum (Perda) justru lebih mengemban aspek kesejahteraan ketimbang aspek keadilan dan aspek kepastian. Kesejahteraan atau kebahagiaan rakyat mestinya ditempatkan sebagai visi atau bintang pemandu utama dalam proses pembentukan perda.
Ketiga, Pemerintah Daerah dan DPRD perlu secara serius menyusun dokumen perencanaan pembentukan perda atau yang lasim dikenal dengan Program Legislasi Daerah (Prolegda). Keseriusan ini penting karena kenyataan selama ini, Prolegda yang disusun masih bersifat insidentil dan parsial. Insidentil oleh karena jangka waktunya pendek (setahun) sehingga minim keterkaitannya dengan dokumen perencanaan pembangunan daerah yang bersifat lima tahunan (Rencana Pembangunan Jangka Menengah – RPJM). Bersifat parsial oleh karena belum ada keterpaduan baik dengan RPJM, Rencana Kerja Pemerintah Daerah Tahunan maupun dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Prolegda yang dibentuk mesti bersifat jangka panjang dan komprehensif.
Keempat, perlu komitmen pemerintah daerah dan DPRD untuk menyusun Naskah Akademik dari setiap perda yang akan dibentuk. Naskah Akademik menjadi penting dalam kerangka mengidentifikasi dan menguraikan pertimbangan atau latarbelakang rancangan perda serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang ada (baik secara vertikal dan horisontal). Melalui Naskah Akademik juga akan memudahkan para legislator untuk memahamai materi yang akan dituangkan dalam dokumen rancangan perda. Selama ini masih ada persepsi di kalangan pemerintahan daerah bahwa Naskah Akademik merupakan sebuah beban ketimbang sebuah hal yang membantu dalam pembentukan perda. Dipandang beban karena berimplikasi perlunya waktu, tenaga dan budget. Padahal untuk menyusun perda yang berkualitas perlu implikasi sebagaimana disebutkan.
Kelima, perlu penguatan atau pemberdayaan terhadap institusi atau lembaga yang berwenang melakukan harmonisasi dan sinkronisasi, baik biro hukum (propinsi)/bagian hukum (kabupaten/kota) maupun badan legislasi sebagai salah satu alat kelengkapan DPRD. Arah harmonisasi dan sinkronisasi berkenaan dengan proses pembentukan (aspek prosedural) maupun substansi perda (aspek materiil). Sementara lingkup harmonisasi dan sinkronisasi yaitu secara vertikal (peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi) maupun secara horisontal (peraturan perundang-undangan yang sederajat).
Keenam, penguatan kapasitas legislator (capacity building) melalui kegiatan pendalaman tugas dan fungsinya, terutama fungsi legislasi. Pendalaman dimaksud berkenaan dengan materi pembentukan perda yang baik dan berkualitas. Pendalaman tugas harus disertai simulasi atau pelatihan sehingga kapasitas yang diperoleh tidak hanya pada tataran kognitif semata tetapi sampai pada afektif dan psikomotorik.
Selanjutnya, upaya represif dilakukan melalui : pertama, penguatan masyarakat sipil (civil society) dan penguatan pengawasan pemerintah dalam mengawasi proses pembentukan perda. Hal ini merupakan hak masyarakat dan kewenangan pemerintah sebagaimana diatur dalam konstitusi maupun perundang-undangan lainnya. Pengawasan masyarakat maupun pemerintah akan menjadi pintu masuk untuk melakukan peninjauan (review) terhadap perda yang dianggap tidak prosedural maupun isinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kedua, efektifkan judicial review sebagai sarana pengujian dan penyelesaian terhadap perda bermasalah. Selama ini ada persepsi bahwa peran Mahkamah Agung dalam melakukan judicial review belum setara seperti yang dilakukan Mahkamah Konstitusi ketika melakukan pengujian Undang – Undang.

Umbu Rauta
Dosen Fakultas Hukum UKSW – Salatiga
Telah dimuat pada Harian Timor Express 10 Mei 2013