Setelah melalui proses penyaringan terhadap dua bakal calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres), Sabtu 31 Mei 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Keputusan No. 453/Kpts/KPU/Tahun 2014 menetapkan dua pasang capres dan cawapres, yaitu Prabowo Subianto – Hatta Rajasa dan Joko Widodo – Yusuf Kalla. Sejak 4 Juni sampai 5 Juli 2014, kedua pasangan capres dan cawapres telah melakukan kampanye dalam rangka mensosialisasikan visi misi maupun menarik simpati atau minat pemilih di seluruh wilayah nusantara.
Terkait dengan peserta pilpres yang hanya terdiri dari dua pasang tersebut, publik mulai memperkirakan dan memastikan bahwa perhelatan pilpres 2014 ini hanya berlangsung dalam satu putaran, dengan alasan salah satu pasang akan mampu memperoleh suara lebih dari 50 % (lima puluh persen) suara yang sah. Persoalannya, apakah benar (pasti) pilpres 2014 ini akan berlangsung satu putaran atau berpotensi menjadi dua putaran?

Landasan Hukum
Pengaturan tentang penentuan capres dan wapres terpilih diatur dalam Pasal 6A UUD 1945 juncto Pasal 159 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Berdasarkan kaidah tersebut, ada tiga syarat penentuan capres dan cawapres terpilih yaitu: (a) memperoleh suara lebih dari 50 %; (b) suara pada huruf a tersebar di lebih dari separuh jumlah propinsi (atau minimal 17 propinsi); dan (c) perolehan suara di setiap propinsi tersebut (minimal 17 propinsi) paling sedikit 20 %.
Semangat dibalik kaidah di atas yaitu untuk menjaring dan menyaring presiden dan wapres yang memiliki akar atau basis atau daya dukung yang merata secara geografis atau kewilayahan, sebagaimana tercermin dari sebaran wilayah propinsi. Dengan kata lain, kita sedang memilih Presiden dan Wapres yang mencerminkan keIndonesiaan, bukan sekedar mencerminkan wilayah atau pulau tertentu yang mungkin dari segi jumlah pemilih sudah cukup untuk menentukan pemenang dalam arena pilpres. Oleh karenanya kadar legitimasi (pengakuan) patut diperhatikan dalam penentuan presiden dan wakil presiden terpilih.

Komplikasi Hukum
Terkait perhelatan pilpres 2014, boleh jadi akan berpotensi menimbulkan komplikasi hukum manakala KPU tidak mengantisipasi peluang penafsiran yang beragam terhadap kaidah dalam UUD 1945 maupun UU Pilpres. Meski para pasangan capres dan cawapres beserta tim suksesnya sudah mendeklarasikan kesiapan untuk menerima apapun hasil pilpres, namun praktik pilkada menjadi bukti adanya keberatan terhadap hampir seluruh hasil pilkada. Bagi saya, belum dapat dipastikan bahwa pilpres hanya terjadi satu putaran, karena potensi dua putaran tidak dapat dielakan. Pilpres akan berlangsung satu putaran manakala salah satu pasangan capres dan cawapres memenuhi ketiga syarat di atas. Sebaliknya, pilpres berlangsung dua putaran manakala tidak memenuhi syarat tersebut secara lengkap. Boleh jadi, ada pasangan capres dan cawapres yang meraih suara di atas 50 %, namun belum tentu suara tersebut memenuhi syarat lain yaitu persebaran wilayah (propinsi) dan batas minimum perolehan suara di setiap wilayah (propinsi).

Jalan Keluar
Terhadap potensi komplikasi hukum di atas, KPU telah berinisiasi untuk mengkonsultasikan pemaknaan dari kaidah dalam UUD 1945 dan UU Pilpres kepada MPR selaku penyusun amandemen UUD 1945. Bagi saya, di samping upaya konsultasi tersebut, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh:
Pertama, KPU segera mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memohon tafsiran konstitusional terhadap kaidah (Pasal 6A UUD 1945). Upaya ini lebih prioritas karena putusan MK lebih memiliki kekuatan hukum mengikat ketimbang hasil konsultasi. Kedua, jika upaya pertama tidak dapat dilakukan, perlu terobosan hukum dengan cara meminta kesediaan dari dua pasang capres dan cawapres menandatangani kesepakatan yang isinya menerima pemaknaan atau tafsiran KPU atas kaidah pada Pasal 6A UUD 1945 juncto Pasal 159 UU No. 42 Tahun 2008. Ketiga, dalam jangka panjang, pembentuk konstitusi dan pembentuk UU perlu mengagendakan untuk melakukan perubahan dalam wujud penambahan kaidah dalam Pasal 6A UUD maupun Pasal 159 UU Pilpres. Semoga….

Umbu Rauta
Dosen FH UKSW, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro,
Peneliti Pusat Studi Reformasi Regulasi UKSW