Respon publik atas keputusan DPR bersama Pemerintah (Mendagri) terkait RUU Pilkada terus mengalir. Tak ketinggalan respon Presiden SBY, di sela-sela kunjungan kenegaraan di Jepang, Senin, 29 September 2014 menyempatkan waktu bertemu dan bertukar pikiran dengan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Dari hasil pertemuan tersebut, Yusril berkesimpulan Presiden SBY dan Presiden terpilih Jokowi bisa membatalkan UU Pilkada. Lebih lanjut dalam akun Twitternya Yusril mengatakan: “Saran saya, SBY tidak usah tanda tangani dan undangkan RUU tersebut sampai jabatannya habis. Tenggang waktu 30 hari menurut pasal tersebut adalah tanggal 23 Oktober. Saat itu jabatan SBY sudah berakhir” (SM, 30/9/2014).
Tulisan ini bermaksud membahas pendapat Yusril tersebut, terutama berkenaan dengan ada tidaknya peluang bagi Presiden untuk menolak mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR bersama Pemerintah.

Penolakan Pengesahan RUU
Jika ditilik ke belakang, RUU Pilkada merupakan inisiatif Pemerintah. Pemerintah melalui Mendagri sudah sejak awal terlibat dalam pembahasan bersama dengan DPR (melalui Komisi terkait). Bahkan dalam detik-detik terakhir, Mendagri mewakili Pemerintah terlibat dalam paripurna persetujuan bersama RUU menjadi UU Pilkada. Hal itu nyata melalui Pidato tanggapan Pemerintah pasca persetujuan RUU oleh Pimpinan Sidang Paripurna DPR.
Ketika Pemerintah (Presiden melalui Mendagri) telah terlibat sejak pengusulan, pembahasan dan persetujuan bersama RUU menjadi UU, adakah ruang yuridis bagi Presiden untuk menolak mengesahkan RUU menjadi UU? Pasal 20 ayat (4) UUD NRI 1945 mengamanatkan bahwa: “Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.” Kaidah ini sejatinya bersifat imperatif bagi Presiden untuk mengesahkan RUU menjadi UU karena didasari pemikiran bahwa Presiden telah menyatakan persetujuan bersama. Namun jika Presiden tidak mengindahkan kaidah tersebut, pembentuk konstitusi telah menyediakan kaidah pada Pasal 20 ayat (5) yaitu: “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.”
Terkait RUU Pilkada yang telah disetujui bersama menjadi UU, rupanya tidak ada pilihan bagi Presiden SBY untuk tidak mengesahkan. Jika Presiden SBY tidak mengesahkan, boleh jadi akan diwariskan ke Presiden Jokowi karena batas waktu pengesahan RUU tersebut memasuki rezim pemerintahan baru. Presiden Jokowi juga tidak bisa mengelak untuk tidak mengesahkan RUU tersebut. Jika Presiden SBY dan Presiden Jokowi tidak mengesahkan RUU, demi hukum RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
Peluang yuridis tersisa yang dapat dilakukan Presiden SBY atau Jokowi sebagaimana usulan Yusril yaitu tidak mengundangkan UU tersebut. Dalam hal ini Presiden dapat memerintahkan Menteri Hukum dan HAM agar tidak mengundangkan UU dalam Lembaran Negara RI. Ketika UU tersebut tidak diundangkan maka dengan sendirinya belum sepenuhnya memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun, tindakan ini bukannya tanpa konsekuensi, karena boleh jadi mengundang problematika ketatanegaraan baru, dimana Presiden akan dianggap melanggar konstitusi (Pasal 20 ayat 5), sehingga menjadi pintu masuk bagi “koalisi merah putih” untuk mengimpeach Presiden.

Peluang Perppu
Seiring dengan penolakan RUU Pilkada, muncul pula gagasan agar Presiden SBY menerbitkan Perppu pembatalan RUU Pilkada. Secara konstitusional, kewenangan Presiden menerbitkan Perppu diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 yaitu: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.”
Mengacu kaidah tersebut, usulan kepada Presiden untuk menerbitkan Perppu hanya bisa terwujud apabila RUU Pilkada disahkan/sah terlebih dahulu menjadi UU. Jika masih dalam status RUU, tidak ada peluang normatif bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu yang isinya membatalkan RUU menjadi UU.
Ketika RUU telah disahkan/sah menjadi UU, materi muatan Perppu yang diterbitkan Presiden berkenaan dengan perubahan kaidah pengisian jabatan Kepala Daerah, yang saat ini disetujui untuk dipilih oleh DPRD, kemudian diubah agar dipilih oleh rakyat secara langsung. Agar Perppu tersebut bisa efektif, ada dua prasyarat yang patut disiapkan oleh Presiden yaitu: (a) menyiapkan dan membangun argumentasi adanya “hal ihwal kegentingan memaksa”, sebagai alsan penerbitan Perppu; dan (b) mengupayakan agar tingkat dukungan di DPR cukup dominan (mayoritas) yang mendukung penerbitan Perppu. Ini penting karena setelah diterbitkan, Perppu mesti diajukan ke DPR untuk memperoleh persetujuan. Jika Perppu tidak memperoleh persetujuan DPR, maka Perppu tersebut harus dicabut.
Jika kedua prasyarat di atas tidak disiapkan, gagasan menerbitka Perppu akan menjadi sia-sia, karena kekuatan koalisi yang tidak mendukung Presiden masih cukup kuat jika tidak ingin dikatakan mayoritas.

Alternatif Solusi
Terhadap keadaan telah disetujuinya RUU Pilkada menjadi UU, ada beberapa jalan keluar yang dapat ditempuh. Pertama, mengajukan upaya pengujian UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi, dengan harapan MK akan mengabulkan permohonan. Jika langkah pertama tidak terkabulkan, langkah kedua yaitu Presiden menerbitkan Perppu yang isinya mengubah kaidah pengisian jabatan kepala daerah atau menunda keberlakuan UU Pilkada dengan prasyarat sebagaimana disebutkan sebelumnya. Langkah ketiga yaitu menempuh prosedur normal yaitu Presiden Jokowi mengajukan RUU Perubahan UU Pilkada ke DPR, dengan syarat tingkat dukungan bagi parpol pendukung Presiden Jokowi telah cukup kuat.

Umbu Rauta
Dosen Hukum Tata Negara UKSW, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.