PERIHAL PEMBATALAN RUU PILKADA

Respon publik atas keputusan DPR bersama Pemerintah (Mendagri) terkait RUU Pilkada terus mengalir. Tak ketinggalan respon Presiden SBY, di sela-sela kunjungan kenegaraan di Jepang, Senin, 29 September 2014 menyempatkan waktu bertemu dan bertukar pikiran dengan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Dari hasil pertemuan tersebut, Yusril berkesimpulan Presiden SBY dan Presiden terpilih Jokowi bisa membatalkan UU Pilkada. Lebih lanjut dalam akun Twitternya Yusril mengatakan: “Saran saya, SBY tidak usah tanda tangani dan undangkan RUU tersebut sampai jabatannya habis. Tenggang waktu 30 hari menurut pasal tersebut adalah tanggal 23 Oktober. Saat itu jabatan SBY sudah berakhir” (SM, 30/9/2014).
Tulisan ini bermaksud membahas pendapat Yusril tersebut, terutama berkenaan dengan ada tidaknya peluang bagi Presiden untuk menolak mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR bersama Pemerintah.

Penolakan Pengesahan RUU
Jika ditilik ke belakang, RUU Pilkada merupakan inisiatif Pemerintah. Pemerintah melalui Mendagri sudah sejak awal terlibat dalam pembahasan bersama dengan DPR (melalui Komisi terkait). Bahkan dalam detik-detik terakhir, Mendagri mewakili Pemerintah terlibat dalam paripurna persetujuan bersama RUU menjadi UU Pilkada. Hal itu nyata melalui Pidato tanggapan Pemerintah pasca persetujuan RUU oleh Pimpinan Sidang Paripurna DPR.
Ketika Pemerintah (Presiden melalui Mendagri) telah terlibat sejak pengusulan, pembahasan dan persetujuan bersama RUU menjadi UU, adakah ruang yuridis bagi Presiden untuk menolak mengesahkan RUU menjadi UU? Pasal 20 ayat (4) UUD NRI 1945 mengamanatkan bahwa: “Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.” Kaidah ini sejatinya bersifat imperatif bagi Presiden untuk mengesahkan RUU menjadi UU karena didasari pemikiran bahwa Presiden telah menyatakan persetujuan bersama. Namun jika Presiden tidak mengindahkan kaidah tersebut, pembentuk konstitusi telah menyediakan kaidah pada Pasal 20 ayat (5) yaitu: “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.”
Terkait RUU Pilkada yang telah disetujui bersama menjadi UU, rupanya tidak ada pilihan bagi Presiden SBY untuk tidak mengesahkan. Jika Presiden SBY tidak mengesahkan, boleh jadi akan diwariskan ke Presiden Jokowi karena batas waktu pengesahan RUU tersebut memasuki rezim pemerintahan baru. Presiden Jokowi juga tidak bisa mengelak untuk tidak mengesahkan RUU tersebut. Jika Presiden SBY dan Presiden Jokowi tidak mengesahkan RUU, demi hukum RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
Peluang yuridis tersisa yang dapat dilakukan Presiden SBY atau Jokowi sebagaimana usulan Yusril yaitu tidak mengundangkan UU tersebut. Dalam hal ini Presiden dapat memerintahkan Menteri Hukum dan HAM agar tidak mengundangkan UU dalam Lembaran Negara RI. Ketika UU tersebut tidak diundangkan maka dengan sendirinya belum sepenuhnya memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun, tindakan ini bukannya tanpa konsekuensi, karena boleh jadi mengundang problematika ketatanegaraan baru, dimana Presiden akan dianggap melanggar konstitusi (Pasal 20 ayat 5), sehingga menjadi pintu masuk bagi “koalisi merah putih” untuk mengimpeach Presiden.

Peluang Perppu
Seiring dengan penolakan RUU Pilkada, muncul pula gagasan agar Presiden SBY menerbitkan Perppu pembatalan RUU Pilkada. Secara konstitusional, kewenangan Presiden menerbitkan Perppu diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 yaitu: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.”
Mengacu kaidah tersebut, usulan kepada Presiden untuk menerbitkan Perppu hanya bisa terwujud apabila RUU Pilkada disahkan/sah terlebih dahulu menjadi UU. Jika masih dalam status RUU, tidak ada peluang normatif bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu yang isinya membatalkan RUU menjadi UU.
Ketika RUU telah disahkan/sah menjadi UU, materi muatan Perppu yang diterbitkan Presiden berkenaan dengan perubahan kaidah pengisian jabatan Kepala Daerah, yang saat ini disetujui untuk dipilih oleh DPRD, kemudian diubah agar dipilih oleh rakyat secara langsung. Agar Perppu tersebut bisa efektif, ada dua prasyarat yang patut disiapkan oleh Presiden yaitu: (a) menyiapkan dan membangun argumentasi adanya “hal ihwal kegentingan memaksa”, sebagai alsan penerbitan Perppu; dan (b) mengupayakan agar tingkat dukungan di DPR cukup dominan (mayoritas) yang mendukung penerbitan Perppu. Ini penting karena setelah diterbitkan, Perppu mesti diajukan ke DPR untuk memperoleh persetujuan. Jika Perppu tidak memperoleh persetujuan DPR, maka Perppu tersebut harus dicabut.
Jika kedua prasyarat di atas tidak disiapkan, gagasan menerbitka Perppu akan menjadi sia-sia, karena kekuatan koalisi yang tidak mendukung Presiden masih cukup kuat jika tidak ingin dikatakan mayoritas.

Alternatif Solusi
Terhadap keadaan telah disetujuinya RUU Pilkada menjadi UU, ada beberapa jalan keluar yang dapat ditempuh. Pertama, mengajukan upaya pengujian UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi, dengan harapan MK akan mengabulkan permohonan. Jika langkah pertama tidak terkabulkan, langkah kedua yaitu Presiden menerbitkan Perppu yang isinya mengubah kaidah pengisian jabatan kepala daerah atau menunda keberlakuan UU Pilkada dengan prasyarat sebagaimana disebutkan sebelumnya. Langkah ketiga yaitu menempuh prosedur normal yaitu Presiden Jokowi mengajukan RUU Perubahan UU Pilkada ke DPR, dengan syarat tingkat dukungan bagi parpol pendukung Presiden Jokowi telah cukup kuat.

Umbu Rauta
Dosen Hukum Tata Negara UKSW, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.

PRO KONTRA PENENTUAN CAPRES TERPILIH

Setelah melalui proses penyaringan terhadap dua bakal calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres), Sabtu 31 Mei 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Keputusan No. 453/Kpts/KPU/Tahun 2014 menetapkan dua pasang capres dan cawapres, yaitu Prabowo Subianto – Hatta Rajasa dan Joko Widodo – Yusuf Kalla. Sejak 4 Juni sampai 5 Juli 2014, kedua pasangan capres dan cawapres telah melakukan kampanye dalam rangka mensosialisasikan visi misi maupun menarik simpati atau minat pemilih di seluruh wilayah nusantara.
Terkait dengan peserta pilpres yang hanya terdiri dari dua pasang tersebut, publik mulai memperkirakan dan memastikan bahwa perhelatan pilpres 2014 ini hanya berlangsung dalam satu putaran, dengan alasan salah satu pasang akan mampu memperoleh suara lebih dari 50 % (lima puluh persen) suara yang sah. Persoalannya, apakah benar (pasti) pilpres 2014 ini akan berlangsung satu putaran atau berpotensi menjadi dua putaran?

Landasan Hukum
Pengaturan tentang penentuan capres dan wapres terpilih diatur dalam Pasal 6A UUD 1945 juncto Pasal 159 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Berdasarkan kaidah tersebut, ada tiga syarat penentuan capres dan cawapres terpilih yaitu: (a) memperoleh suara lebih dari 50 %; (b) suara pada huruf a tersebar di lebih dari separuh jumlah propinsi (atau minimal 17 propinsi); dan (c) perolehan suara di setiap propinsi tersebut (minimal 17 propinsi) paling sedikit 20 %.
Semangat dibalik kaidah di atas yaitu untuk menjaring dan menyaring presiden dan wapres yang memiliki akar atau basis atau daya dukung yang merata secara geografis atau kewilayahan, sebagaimana tercermin dari sebaran wilayah propinsi. Dengan kata lain, kita sedang memilih Presiden dan Wapres yang mencerminkan keIndonesiaan, bukan sekedar mencerminkan wilayah atau pulau tertentu yang mungkin dari segi jumlah pemilih sudah cukup untuk menentukan pemenang dalam arena pilpres. Oleh karenanya kadar legitimasi (pengakuan) patut diperhatikan dalam penentuan presiden dan wakil presiden terpilih.

Komplikasi Hukum
Terkait perhelatan pilpres 2014, boleh jadi akan berpotensi menimbulkan komplikasi hukum manakala KPU tidak mengantisipasi peluang penafsiran yang beragam terhadap kaidah dalam UUD 1945 maupun UU Pilpres. Meski para pasangan capres dan cawapres beserta tim suksesnya sudah mendeklarasikan kesiapan untuk menerima apapun hasil pilpres, namun praktik pilkada menjadi bukti adanya keberatan terhadap hampir seluruh hasil pilkada. Bagi saya, belum dapat dipastikan bahwa pilpres hanya terjadi satu putaran, karena potensi dua putaran tidak dapat dielakan. Pilpres akan berlangsung satu putaran manakala salah satu pasangan capres dan cawapres memenuhi ketiga syarat di atas. Sebaliknya, pilpres berlangsung dua putaran manakala tidak memenuhi syarat tersebut secara lengkap. Boleh jadi, ada pasangan capres dan cawapres yang meraih suara di atas 50 %, namun belum tentu suara tersebut memenuhi syarat lain yaitu persebaran wilayah (propinsi) dan batas minimum perolehan suara di setiap wilayah (propinsi).

Jalan Keluar
Terhadap potensi komplikasi hukum di atas, KPU telah berinisiasi untuk mengkonsultasikan pemaknaan dari kaidah dalam UUD 1945 dan UU Pilpres kepada MPR selaku penyusun amandemen UUD 1945. Bagi saya, di samping upaya konsultasi tersebut, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh:
Pertama, KPU segera mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memohon tafsiran konstitusional terhadap kaidah (Pasal 6A UUD 1945). Upaya ini lebih prioritas karena putusan MK lebih memiliki kekuatan hukum mengikat ketimbang hasil konsultasi. Kedua, jika upaya pertama tidak dapat dilakukan, perlu terobosan hukum dengan cara meminta kesediaan dari dua pasang capres dan cawapres menandatangani kesepakatan yang isinya menerima pemaknaan atau tafsiran KPU atas kaidah pada Pasal 6A UUD 1945 juncto Pasal 159 UU No. 42 Tahun 2008. Ketiga, dalam jangka panjang, pembentuk konstitusi dan pembentuk UU perlu mengagendakan untuk melakukan perubahan dalam wujud penambahan kaidah dalam Pasal 6A UUD maupun Pasal 159 UU Pilpres. Semoga….

Umbu Rauta
Dosen FH UKSW, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro,
Peneliti Pusat Studi Reformasi Regulasi UKSW

Perda Bermasalah ; Sebab & Solusi

PERDA BERMASALAH ; SEBAB & SOLUSI
Oleh : Umbu Rauta

Otonomi Daerah berkenaan dengan kewenangan daerah melakukan pengelolaan/pengurusan (bestuur) dan pengaturan (regeling). Terkait kewenangan pengaturan, out put-nya meliputi Perda, Peraturan Kepala Daerah, Peraturan Bersama Kepala Daerah, dan Keputusan Kepala Daerah.
Secara teoretik-normatif, pembentukan Perda mesti memenuhi beberapa persyaratan seperti : pemenuhan terhadap asas-asas pembentukan dan materi muatan, landasan dan tahapan pembentukan, kerangka peraturan dan bahasa hukum. Manakala kualifikasi tersebut dipenuhi, akan tercipta Perda berkualitas atau layak. Namun, realitas menggambarkan bahwa pasca pergeseran paradigma pemerintahan daerah yang berkarakter desentralistik – demokratis pada tahun 1999, justru dibarengi dengan munculnya Perda Bermasalah. Perda Bermasalah ditakrifkan sebagai produk hukum yang memiliki cacat formil dan substansi.
Ranah Perda Bermasalah
Masalah yang mengitari berbagai perda di Indonesia mencakup masalah prosedural atau aspek formil dan masalah substansi atau aspek materi. Masalah prosedural tampak dari ketidakpemenuhan terhadap prosedur atau tata cara pembentukan perda sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan (baik berkenaan dengan kerangka perundang-undangan, bahasa hukum, tahapan pembentukannya serta harmonisasi dan sinkronisasi). Ketidakpemenuhan ini terjadi karena lemahnya kapasitas dan kompetensi yang dimiliki oleh para legislator dalam bidang perancangan hukum (legal drafting). Lemahnya kapasitas dan kompetensi tersebut boleh jadi disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki serta kapasitas yang tidak sesuai dengan fungsi pembentukan perundang-undangan. Kedua, minimnya pengalaman yang dimiliki, terutama bagi anggota DPRD karena memiliki batas periode jabatan paling lama lima tahun. Ketiga, minimnya kegiatan pendalaman tugas berupa bimbingan teknis bagi anggota DPRD, terutama topik yang berkenaan dengan perancangan hukum (legal drafting). Keempat, minimnya akses informasi (baik media cetak dan media elektronik) yang dapat menambah informasi dan memperluas wawasan para anggota DPRD.
Sementara itu, masalah substansi atau materi perda berkenaan dengan : Pertama, masalah tidak adanya kewenangan dari daerah dalam pembentukan Perda tertentu; Kedua, masalah pelanggaran terhadap materi perundang-undangan yang lebih tinggi; Ketiga, masalah pembebanan yang cukup besar kepada masyarakat, terutama Perda pungutan (pajak, retribusi dan sumbangan); Keempat, masalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia (perempuan); dan Kelima, masalah pengaturan substansi yang bernuansa keagamaan sehingga berpotensi “memecah belah” semangat pluralisme.
Masalah kewenangan berkaitan dengan adanya tindakan melampaui wewenang yang dilakukan daerah (Pemerintah Daerah dan DPRD) ketika mengatur sesuatu urusan pemerintahan yang semestinya bukan merupakan ranah kewenangan daerah. Hal ini tampak dari adanya berbagai perda yang bernuansa keagamaan (Perda Syariat dan Perda Injili). Padahal urusan agama sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 maupun PP No. 38 Tahun 2007 merupakan urusan pemerintah pusat. Selain itu, ada pula perda yang mengatur tentang pungutan (pajak, retribusi, sumbangan) yang seharusnya bukan merupakan kewenangan daerah sebagaimana telah diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Masalah pelanggaran terhadap materi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi berkaitan dengan adanya materi atau substansi Perda yang isinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini tampak dalam Perda tentang pajak, retribusi daerah dan sumbangan pihak dari ketiga. Selanjutnya masalah pembebanan berkenaan dengan besarnya/tingginya tarif pajak dan retribusi sehingga memberi beban yang cukup besar kepada masyarakat dalam memberikan atau melakukan pembayaran. Kemudian masalah pelanggaran hak asasi manusia tampak ketika adanya berbagai kewajiban yang khusus dikenakan terhadap wanita, seperti kewajiban untuk tidak berada di luar rumah di atas jam 22.00. Manakala masih ada wanita yang berada di luar rumah (khususnya di jalan) melebihi waktu tersebut, dianggap sebagai wanita tuna susila.
Penyebab Perda Bermasalah
Akar masalah (penyebab) adanya Perda Bermasalah (baik masalah prosedural maupun masalah substansi) yaitu cara pandang Pemerintah Daerah dan DPRD terhadap hakekat otonomi daerah. Otonomi daerah lebih dipandang dan dipahami sebagai pergeseran kewenangan dari pusat ke daerah untuk membebani masyarakat dengan sejumlah kewajiban atau beban, bukan untuk memudahkan layanan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya, Perda lebih dijadikan instrumen untuk mewujudkan perolehan pendapatan ketimbang kesejahteraan atau kemanfaatan bagi masyarakat.
Penyebab lain dari Perda Bermasalah yaitu minimnya kemampuan para legislator dalam perancangan hukum (legal drafting), belum adanya keseriusan untuk menyusun program legislasi daerah, belum adanya kemauan untuk menyusun kajian akademik dari setiap perda yang diusulkan, belum efektifnya upaya harmonisasi dan sinkronisasi yang dilakukan pemerintah daerah dan DPRD, serta minimnya ketegasan dari pemerintah pusat untuk mengawasi pelaksanaan pembatalan dari setiap perda yang telah dibatalkan melalui upaya judicial review dan eksekutif review.
Upaya Mengatasi Perda Bermasalah
Kondisi riil tentang Perda Bermasalah merupakan cerminan atau pantulan adanya problem dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Problem dimaksud ada pada tingkatan nasional (Undang – Undang) maupun tingkatan daerah (Perda). Terhadap kondisi demikian, perlu upaya secara terencana, terpadu dan sistematis untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi adanya Perda Bermasalah tersebut. Berikut ini diutarakan beberapa usaha atau upaya dimaksud, baik yang bersifat pencegahan (preventif) maupun penanggulangan (represif).
Upaya preventif berkenaan dengan hal-hal berikut. Pertama, keharusan untuk merubah cara pandang (paradigma) Pemerintah Daerah dan DPRD terhadap hakekat otonomi daerah. Otonomi daerah tidak sekedar meningkatkan PAD sehingga secara keuangan daerah dimaksud dipandang mampu, namun harus ada pemahaman secara komprehensif bahwa otonomi daerah bertujuan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga pada gilirannya terwujud kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya, segala instrumen pendukung otonomi daerah, baik urusan pemerintahan, organisasi, dan pembentukan aturan semestinya diorientasikan pada tujuan otonomi daerah. Singkatnya, perda yang dibentuk tidak selalu mengenakan kewajiban berupa pungutan bagi masyarakat.
Kedua, perlu pula pergeseran cara pandang pemerintahan daerah terhadap tujuan hukum. Artinya, Perda yang dibentuk tidak selalu didominasi oleh tujuan kepastian dan ketertiban, tetapi juga mampu mewujudkan aspek kesejahteraan bagi pihak yang dikenai perda (addresat). Hukum (Perda) justru lebih mengemban aspek kesejahteraan ketimbang aspek keadilan dan aspek kepastian. Kesejahteraan atau kebahagiaan rakyat mestinya ditempatkan sebagai visi atau bintang pemandu utama dalam proses pembentukan perda.
Ketiga, Pemerintah Daerah dan DPRD perlu secara serius menyusun dokumen perencanaan pembentukan perda atau yang lasim dikenal dengan Program Legislasi Daerah (Prolegda). Keseriusan ini penting karena kenyataan selama ini, Prolegda yang disusun masih bersifat insidentil dan parsial. Insidentil oleh karena jangka waktunya pendek (setahun) sehingga minim keterkaitannya dengan dokumen perencanaan pembangunan daerah yang bersifat lima tahunan (Rencana Pembangunan Jangka Menengah – RPJM). Bersifat parsial oleh karena belum ada keterpaduan baik dengan RPJM, Rencana Kerja Pemerintah Daerah Tahunan maupun dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Prolegda yang dibentuk mesti bersifat jangka panjang dan komprehensif.
Keempat, perlu komitmen pemerintah daerah dan DPRD untuk menyusun Naskah Akademik dari setiap perda yang akan dibentuk. Naskah Akademik menjadi penting dalam kerangka mengidentifikasi dan menguraikan pertimbangan atau latarbelakang rancangan perda serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang ada (baik secara vertikal dan horisontal). Melalui Naskah Akademik juga akan memudahkan para legislator untuk memahamai materi yang akan dituangkan dalam dokumen rancangan perda. Selama ini masih ada persepsi di kalangan pemerintahan daerah bahwa Naskah Akademik merupakan sebuah beban ketimbang sebuah hal yang membantu dalam pembentukan perda. Dipandang beban karena berimplikasi perlunya waktu, tenaga dan budget. Padahal untuk menyusun perda yang berkualitas perlu implikasi sebagaimana disebutkan.
Kelima, perlu penguatan atau pemberdayaan terhadap institusi atau lembaga yang berwenang melakukan harmonisasi dan sinkronisasi, baik biro hukum (propinsi)/bagian hukum (kabupaten/kota) maupun badan legislasi sebagai salah satu alat kelengkapan DPRD. Arah harmonisasi dan sinkronisasi berkenaan dengan proses pembentukan (aspek prosedural) maupun substansi perda (aspek materiil). Sementara lingkup harmonisasi dan sinkronisasi yaitu secara vertikal (peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi) maupun secara horisontal (peraturan perundang-undangan yang sederajat).
Keenam, penguatan kapasitas legislator (capacity building) melalui kegiatan pendalaman tugas dan fungsinya, terutama fungsi legislasi. Pendalaman dimaksud berkenaan dengan materi pembentukan perda yang baik dan berkualitas. Pendalaman tugas harus disertai simulasi atau pelatihan sehingga kapasitas yang diperoleh tidak hanya pada tataran kognitif semata tetapi sampai pada afektif dan psikomotorik.
Selanjutnya, upaya represif dilakukan melalui : pertama, penguatan masyarakat sipil (civil society) dan penguatan pengawasan pemerintah dalam mengawasi proses pembentukan perda. Hal ini merupakan hak masyarakat dan kewenangan pemerintah sebagaimana diatur dalam konstitusi maupun perundang-undangan lainnya. Pengawasan masyarakat maupun pemerintah akan menjadi pintu masuk untuk melakukan peninjauan (review) terhadap perda yang dianggap tidak prosedural maupun isinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kedua, efektifkan judicial review sebagai sarana pengujian dan penyelesaian terhadap perda bermasalah. Selama ini ada persepsi bahwa peran Mahkamah Agung dalam melakukan judicial review belum setara seperti yang dilakukan Mahkamah Konstitusi ketika melakukan pengujian Undang – Undang.

Umbu Rauta
Dosen Fakultas Hukum UKSW – Salatiga
Telah dimuat pada Harian Timor Express 10 Mei 2013

LEMBAGA “SUPER BODY” ; DPR ATAU KPK ?

Rapat konsultasi Pimpinan DPR dengan lembaga penegak hukum (KPK, Kejaksaan Agung dan Polri), Senin 3 Oktober 2011, yang semula ingin menyamakan persepsi tentang penanganan kasus korupsi dan mafia anggaran, rupanya berakhir antiklimaks dan tanpa kesimpulan (SM, 4 Oktober 2011). Pemicunya yaitu statement Wakil Ketua Komisi III DPR Fachri Hamzah (FH) yang mewacanakan pembubaran KPK karena dalam negara dengan sistem demokrasi tidak boleh ada lembaga yang sangat kuat dan “super body” seperti KPK.
Statement FH merupakan reaksi keras atas upaya KPK yang memanggil beberapa anggota Badan Anggaran DPR untuk dimintai keterangan terkait kasus dugaan korupsi di Kemenakertrans. Apa yang dikatakan FH sebagai anggota fraksi PKS rupanya mendapat dukungan dari sesama anggota fraksi (meski dengan bahasa berbeda), yaitu Anis Mata – Wakil Ketua DPR– yang mewacanakan agar KPK dievaluasi secara keseluruhan.
Tidak lama berselang, statement FH banyak mendapat respon negatif dari berbagai kalangan. Sebut saja Busyro Mugoddas selaku nakhoda KPK mempersilahkan jika DPR ingin membubarkan KPK, namun baginya KPK tidak bisa ditekan atau diintervensi oleh pihak lain dengan cara apapun. Lebih jauh dikatakan bahwa ada indikasi pernyataan Fachri sudah disetujui oleh fraksi PKS. Kemudian, Sebastian Salang selaku Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia menganggap statement FH sebagai ekspresi kepanikan yang berlebihan karena saat ini banyak anggota DPR yang terlibat mafia anggaran. Sementara dari internal DPR, Ketua Fraksi Partai Demokrat Jafar Hafsah menilai keberadaaan KPK mutlak diperlukan, karena KPK dilahirkan dengan UU yang melihat bahwa korupsi di Indonesia sangat kompleks. Senada dengan itu, Sekjen PKB Imam Nachrowi menilai usulan pembubaran KPK tidak tepat, karena keberadaan KPK masih sangat dibutuhkan di republik ini di tengah-tengah ketidakpercayaaan publik terhadap penegakan hukum yang ada. Padahal pilar demokrasi yang paling utama adalah penegakan hukum secara konsisten.
Pertanyaan yang muncul adalah benarkan KPK sebagai lembaga “super body” atau justru sebaliknya DPR? Berikut diuraikan perbedaan serta keistimewaan dari kedua lembaga dimaksud untuk menunjukan siapakah sebenarnya yang merupakan lembaga “super body”.
Pertama; berdasarkan kualitas fungsi dari lembaga negara (state organ), Jimly Asshiddiqie mengklasifikasikan menjadi lembaga negara utama/pokok (primary state organs) dan lembaga negara pendukung (auxiliary state organs). DPR, termasuk DPD, MPR, Presiden, MA, MK dan BPK dikalsifikasikan sebagai lembaga negara utama, sementara Komisi Yudisial, KPU, Bank Sentral, Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK merupakan lembaga pendukung. Ini berarti kualitas fungsi DPR lebih besar/kuat ketimbang KPK.
Kedua, berkenaan dengan instrumen pembentukan/pengaturan, DPR sebagai primary organ diakui dan dibentuk berdasarkan konstitusi sebagai hukum tertinggi, sementara KPK dibentuk dan diakui berdasarkan UU, yang mana adalah bentukan atau hasil kerja DPR. Ibarat DPR adalah “ibu kandung” sementara KPK adalah “anak kandung”. KPK sewaktu-waktu dapat dibubarkan, karena sangat tergantung pada kemauan politik DPR dan Presiden yaitu manakala lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi dianggap telah berfungsi secara efektif dan efisien. Dengan kata lain, KPK bersifat sementara (ad hock), sementara DPR relatif bersifat tetap atau permanen, tergantung ada tidaknya perubahan konstitusi.
Ketiga, berkenaan dengan pengisian jabatan, Pimpinan KPK dipilih oleh DPR atas usulan calon dari Presiden, sementara anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilu atas usulan partai politik. Ini menunjukan bahwa anggota DPR memiliki legitimasi yang langsung dari rakyat (pemilih), sementara Pimpinan KPK mendapat legitimasi tidak langsung dari rakyat melalui DPR.
Keempat, dalam hal anggaran, alokasi anggaran untuk penyelenggaraan tugas KPK ditentukan melalui APBN, yang mana APBN dibentuk berdasarkan UU yang merupakan bentukan DPR bersama Presiden, sehingga KPK tidak terlibat secara langsung. Sementara anggaran DPR, meskipun juag berasal dari APBN, namun ditentukan sendiri olehnya melalui persidangan pembahasan dan persetujuan APBN.
Kelima, berkenaan dengan pengawasan dan pertanggungjawaban kinerja, KPK dapat diawasi oleh DPR dan mesti memberikan laporan tahunan tentang kinerja kepada DPR, sementara anggota DPR tidak dipersyaratkan memberikan laporan kinerja. Laporan DPR diarahkan kepada rakyat meski tidak ada kejelasan kapan dilakukan, sehingga biasanya dianggap terjadi saat pelaksanaan pemilu berikutnya.
Keenam, Dalam hal-hal tertentu ketika menjalankan fungsi pengawasan, DPR bisa melakukan fungsi “penyelidikan dan penyidikan” seperti yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum, tampak ketika Pansus hak angket century memanggil dan menyidik beberapa pihak terkait.
Ketujuh, DPR mempunyai tugas melakukan uji kelayakan dan kepantasan (fit and proper test) terhadap calon – calon pejabat pada beberapa lembaga atau komisi negara seperti, KPU, Komisi Yudisial, Hakim Agung, BPK, Kapolri, Panglima TNI dan Gubernur Bank Indonesia. Sementara KPK tidak memiliki kewenangan itu. Justru calon Pimpinan KPK mesti melalui fit and proper tes di DPR.
Beberapa perbedaan di atas justru menunjukan bahwa DPR merupakan lembaga yang mempunyai kedudukan dan peran yang besar sehingga lebih “super body” ketimbang KPK. Karena kedudukan dan peran yang besar tersebut, maka penyelenggaraan sistem pemerintahan Indonesia pasca amandemen UUD 1945 dianggap lebih menampakan titik berat kekuasaan ada di DPR (legislative heavy) ketimbang adanya checks and balance di antara lembaga negara.
Kedudukan dan peran KPK justru diberikan oleh DPR melalui pembentukan amanat UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mestinya DPR perlu berterima kasih kepada KPK karena sebagian besar isi/substansi UU tersebut telah dijalankan oleh KPK. Salah satu ranah pengawasan DPR yaitu mengawasi pelaksanaan UU setidaknya telah diupayakan oleh KPK. Dengan begitu agenda pemberantan korupsi bisa secara perlahan dapat berjalan dengan efektif dan efisien.

Umbu Rauta, SH,MH.
Dosen Hukum Tata Negara UKSW Salatiga
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP

RESHUFFLE KABINET dan NASIB KONTRAK KOALISI

Topik pemberitaan media massa cetak, siar dan elektronik selama beberapa minggu terakhir tidak jauh dari usulan dan desakan perombakan (reshuffle) beberapa Menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II. Usulan tersebut didasarkan pada rendahnya kinerja (performance) dan juga dugaan keterlibatan dalam beberapa kasus korupsi maupun kasus hukum lain seperti perceraian dan perselingkuhan.
Usulan dan desakan tersebut rupanya memperoleh respon beragam, baik yang optimis dan pesimis. Kalangan optimis tercermin dari statement beberapa pimpinan partai politik (parpol) peserta koalisi pemerintahan maupun dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang hampir mengamini akan diadakannya reshuffle kabinet tersebut bertepatan dengan peringatan tahun ketiga KIB Jilid II. “Tunggu tanggal main”, demikian statement Presiden SBY. Sementara sebagian khalayak pesimis karena beranggapan bahwa usulan reshuffle tidak lebih dari strategi pengalihan isue agar persoalan mendasar berupa pemberantasan KKN menjadi terabaikan atau dikesampingkan. Terkait usulan dan desakan reshuffle tersebut, muncul pertanyaan apakah Presiden SBY sungguh-sungguh akan melakukan reshuffle ? Jika ada reshuffle, bagaimana nasib Kontrak Koalisi yang pernah ditanda tangani secara bersama oleh Pimpinan Parpol pendukung pemerintahan SBY – Budiono ?

Hak Prerogatif Presiden
Secara konstitusional kewenangan pengangkatan dan pemberhentian para menteri ada ditangan Presiden. Masa jabatan menteri paling lama sama dengan masa jabatan Presiden. Ini berarti bahwa masa jabatan menteri dapat lebih singkat dari masa jabatan Presiden, tergantung kinerja dan kepercayaan dari Presiden. Sehingga dapat dikatakan bahwa kedudukan menteri sangat tergantung pada presiden tanpa pengaruh dan campur tangan dari lembaga lain. Konstruksi konstitusional ini mencerminkan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil, dimana pengangkatan dan pemberhentian menteri tidak tergantung pada desakan atau usulan parlemen atau lembaga perwakilan rakyat, namun bergantung pada penilaian Presiden.
Memperhatikan perkembangan pemberitaan, semakin menguat bahwa reshuffle akan terjadi. Pernyataan dari beberapa pimpinan teras parpol pendukung koalisi meyakinkan hal tersebut. Ketua Umum Partai Demokrat mengakui akan adanya rehuffle, demikian pula Ketua Umum DPP PPP mengakui adanya pembicaraan serius dengan Presiden SBY saat acara kenegaraan di Jambi. Terakhir Ketua Umum DPP PKB juga mangamini hal tersebut, mesti belum memastikan kapan dilakukannya reshuffle tersebut.
Nasib Kontrak Koalisi
Jika reshuffle akan terjadi, bagaimana nasib Kontrak Koalisi yang pernah ditandatangani bersama oleh pimpinan partai politik pendukung SBY – Budiono ? Hal ini menjadi persoalan karena ada salah satu butir kontrak koalisi yang berkenaan dengan reshuffle menteri, yang berbunyi “ Presiden dapat memberhentikan menteri yang tidak memenuhi kontrak kerja dan pakta integritas. Presiden memberi tahu pimpinan parpol untuk dicarikan penggantinya”. Problematika tampak pada rumusan kalimat yang terakhir yaitu … Presiden memberi tahu pimpinan parpol untuk dicarikan penggantinya.
Apakah SBY akan memperhatikan atau mengenyampingkan kontrak koalisi. Secara konstitusional, menjadi kewenangan Presiden untuk melakukan reshuffle tanpa pengaruh dan intervensi pihak manapun. Namun, memperhatikan isi kontrak koalisi tersebut, tidak terelakan pengaruh partai politik pendukung koalisi SBY – Budiono. Kenyataan lain yang mendukung hal tersebut yaitu : Pertama, komposisi kursi menteri dalam KIB jilid II, dimana semua pimpinan parpol pendukung koalisi mendapat jatah jabatan menteri. Kedua, saat atau waktu definitif akan dilakukan reshuffle sengaja dibuat sumir dengan mengatakan bertepatan peringatan memasuki tahun ketiga pemerintahan KIB Jilid II. Ini dilakukan agar Presiden SBY memiliki cukup waktu untuk berkomunikasi dengan beberapa pimpinan partai politik pendukung koalisi. Ketiga, pertemuan informal antara Presiden SBY dengan beberapa pimpinan parpol, yaitu Ketua Umum PPP, Ketua Umum Partai Demokrat, Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua Umum PKB dalam beberapa waktu belakangan ini yang agendanya tidak jauh dari reshuffle kabinet.
Beberapa kenyataan tersebut semakin menguatkan bahwa Kontrak Koalisi akan menjadi dasar Presiden SBY dalam melakukan reshuffle kabinet. Bahkan jatah menteri dari parpol pendukung koalisi akan tetap ada meski mungkin hanya mengganti nama atau personal. Kenyataan ini menggambarkan bahwa hak prerogatif Presiden hanyalah lips service semata, karena secara substansil telah dikesampingkan oleh peran parpol pendukung koalisi pemerintahan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kedudukan norma dalam konstitusi sejajar atau bahkan lebih rendah dari kontrak koalisi yang ada. Sehingga yang terjadi adalah supremacy of contract ketimbang supremacy of constitution.
Bagaimana jika Presiden SBY tidak memperhatikan Kontrak Koalisi tersebut? Secara konstitusional, tidak ada implikasi apapun karena memang menjadi prerogatif Presiden. Hal ini yang justru sangat dinantikan oleh publik. Namun dalam kenyataan, dengan fakta kepemimpinan SBY – BUD yang tidak didukung oleh mayoritas anggota DPR, maka koalisi adalah jalan yang tidak terhindarkan. Konsekuensi lebih lanjut yaitu Presiden SBY memberikan kompensasi kepada parpol pendukung koalisi berupa kursi kementerian atau pejabat negara lainnya. Ini dilakukan agar pemerintahan SBY selama tiga tahun ke depan tidak selalu dibayang-bayangi dengan “berbagai manuver” dari anggota DPR.
Tentu kita berharap agar Presiden SBY lebih takut pada rakyat (karena dipilih dan mendapat legitimasi yang tinggi saat pilpres) ketimbang takut pada anggota DPR yang belum sepenuhnya merepresentasi kehendak rakyat. Apakah mungkin? Kita tunggu jawaban saat reshuffle terjadi.

*Dosen Hukum Tata Negara FH UKSW Salatiga, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP Semarang
Telah dimuat di Harian Wawasan.